Tuttulang, Pendidikan, dan Jalan Pulang ke Akar: Catatan Kecil Untuk Hardiknas

Oleh: Ahmad Faisal

(Pemerhati Pendidikan Sulawesi Barat)

SulbarUpdate.com, Opini – Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) selalu datang dengan gemuruh slogan dan seremonial. Namun di balik peringatan itu, kita patut bertanya ulang: pendidikan seperti apa yang sedang kita bangun hari ini? Apakah ia masih berpijak pada akar budaya kita, atau justru telah tercerabut dari nilai-nilai yang selama ini menumbuhkan bangsa ini secara alami?

Di tengah hiruk-pikuk kebijakan pendidikan yang kerap berubah dan terjebak dalam angka—nilai ujian, indeks mutu, akreditasi—ada bentuk pendidikan yang tumbuh diam-diam, nyaris luput dari perhatian negara. Salah satunya adalah Tuttulang, budaya tutur masyarakat Pamoseang, salah satu desa di pegunungan Sulawesi Barat. Dalam praktik Tuttulang, pendidikan bukanlah aktivitas formal, melainkan proses kehidupan. Orang tua, tetua adat, dan tokoh masyarakat menyampaikan nilai-nilai etika, spiritual, dan sosial melalui nasihat yang dibalut cerita, sindiran halus, atau perumpamaan yang kaya makna.

Di dalam Tuttulang, kata-kata tidak berdiri sendiri. Ia membawa warisan, tanggung jawab, dan ajaran moral. Seorang anak yang tumbuh dalam lingkungan Tuttulang bukan hanya belajar berbicara, tetapi juga belajar mendengar, meresapi, dan memahami kehidupan. Ini adalah pendidikan karakter dalam arti yang sesungguhnya: bukan pelajaran, melainkan penanaman nilai.

Yang menarik, pendekatan semacam ini justru menjadi arah baru pendidikan di berbagai negara Eropa. Finlandia, misalnya, menjadikan pendidikan berbasis budaya dan pengalaman sebagai inti kurikulumnya. Anak-anak dikenalkan pada cerita rakyat, nilai komunitas, dan belajar melalui kerja kolaboratif. Begitu pula di Norwegia dan Islandia, pembelajaran tidak lagi berfokus pada hasil, melainkan pada proses dan keseimbangan emosional siswa.

Pendidikan di Eropa kini tidak lagi sekadar mengejar pengetahuan kognitif, melainkan berupaya membentuk manusia yang utuh. Ini sangat sejalan dengan apa yang selama ini telah hidup dalam Tuttulang. Paulo Freire, tokoh pendidikan dari Brasil, pernah menulis: “Education does not change the world. Education changes people. People change the world.” Pendidikan, bagi Freire, harus berpijak pada realitas sosial dan budaya peserta didik. Bukan netral dan terstandar, tetapi kontekstual dan membebaskan. Di sinilah Tuttulang memiliki relevansi mendalam.

Namun ironisnya, sistem pendidikan kita justru semakin menjauh dari konteks kebudayaan lokal. Kita terlalu cepat mengadopsi pendekatan asing tanpa mengadaptasinya secara kontekstual. Dalam banyak hal, sekolah justru menjadi ruang yang memutus siswa dari lingkungan sosial-budayanya. Kearifan lokal seperti Tuttulang dianggap tidak relevan, atau lebih buruk lagi—tidak pernah dikenal oleh para perancang kebijakan pendidikan.

Padahal dalam Tuttulang, kita menemukan prinsip pendidikan yang sangat visioner: pembelajaran seumur hidup, pendidikan berbasis komunitas, narasi sebagai alat refleksi, dan etika sebagai fondasi utama. Ini bukan hanya warisan, tetapi juga tawaran alternatif terhadap krisis pendidikan karakter yang kita hadapi hari ini.

“Education is the most powerful weapon which you can use to change the world.” Begitu kata Mandela. Tetapi senjata itu akan tumpul jika tidak ditempa dari bahan yang dikenali dan dihargai oleh pemiliknya. Artinya, pendidikan yang berdampak adalah pendidikan yang berpijak pada identitas. Bukan yang seragam dan sentralistik, tetapi yang mengenali akar dan menghargai keragaman.

Momentum Hardiknas seharusnya menjadi waktu yang tepat untuk meninjau ulang arah pendidikan kita. Alih-alih terus meniru model pendidikan luar negeri, kita perlu menggali kekayaan pedagogi lokal yang telah terbukti membentuk masyarakat yang tangguh secara moral dan sosial. Tuttulang adalah contoh bahwa pendidikan karakter tidak harus dibuat-buat—ia telah lama ada, tinggal kita mengakui dan mengangkatnya.

Sudah saatnya pendidikan Indonesia tidak hanya berjalan ke depan, tetapi juga menengok ke belakang untuk menemukan jalan pulangnya. Sebab pendidikan yang tercerabut dari akar, pada akhirnya hanya akan membentuk generasi yang kehilangan arah. Dan seperti pepatah dalam banyak budaya tutur: orang yang lupa asal, akan mudah tersesat di jalan.