Lombang | Lumalong Lahir Kembali
Damailah hati Lumalong. Berlari tanpa beban menyusuri jalan setapak di tanah kelahirannya yang baru. Kisahnya sulit untuk di gambarkan dengan goresan pena.
Lombang 2002, hamparan alam titipan Tuhan menari mengelilinya. Adalah kampung Lumalong saat ini, tempat ia dilahirkan kembali. Tak seperti Mambie, Sungai Lombang amatlah jernih, sebening hati manusia pada hulu dan hilirnya. Tak seperti manusia [Mambie], keruh memerah-merahan.
Masa kecilnya yang tersisa ia habiskan di tengah-tengah canda tawa manusia-manusia Lombang. Dulu rindang Bambu kini Pohon Durian khas Lombang teman barunya. Bercerita bersama,menghabiskan siang dan malam.
Tanah Lombang telah lama dihuni anak kandungnya. Saripati bumi Lombang tidak jauh dari tulang dan daging Lumalong. Pamoseang dan Lombang adalah saudara kandung, sama- sama lahir dari rahim Talippuki [lisuang ada’].
Hari berlalu begitu cepat, Lumalong beranjak dewasa. Pilunya, kisah lama seakan kembali terulang walau berbeda tempat alur ceritanya tidak dapat dipilah. Tepat tiga tahun lamanya, Lombang hanya ada dalam cerita pendek sisa masa kecilnya. Mungkin ia telah menyusuri jalan tak tentu arah dalam kehidupannya. Benar bahwa Tuhan telah gariskan masa kecilnya adalah perjalanan semu.
Lima puluh ribu tahun sebelum persaksiannya, kisahnya telah termaktub dalam Firman-Nya.
Masa depannya kembali bergumam :
Malam dan lilin saksikan kekecewaan ini ,tiada pengharapan penghianatanmu tanpa rasa malu
Tega nian engkau perlakukan orang hina ini
Sungguh, niat dan perbuatanku ini adalah ketulusan yang begitu mudah engkau acuhkan
Sejak awal jejakku suarakan kata hati
Namun hatiku tak harapkan jawaban kegembiraan
Hanyalah harapanku , mawar takkan layu sebab embun dan sinar ketulusan kita temani semerbak harum bunganya
Maafkan aku atas khilaf yang sesekali menemaniku
Sebab hati tak selamanya senang dan fikiran tak selamanya jernih
Karena ketulusan itu bukan untuk kamu ataupun diriku
Tetapi untuk tanah dimana kita berpijak dan hidup bersama
Entah benar atau salah, biarlah aku menerka-nerka
Sebab itulah yang aku petik dari balasan niat suciku
Jauh anganku karna harapan dan kepercayaan
Dalam lukaku sebab harapan dan kepercayaan jua
Namun,sekali lagi itu takberarti bagiku
Karena perih sesungguhnya adalah tentang cakrawala dimana tanah kita berasal
Helah nafas orang terbuang ini ditemani rintihan batin karna luka
Ditemani rintihan jiwa dan harapan semu
Yang tak bisa dibahasakan
Sayangnya aku orang lemah, membiarkan permata menjadi butiran debu
Suatu hari dalam kelananya, Lumalong menulis syair :
Sajak Kerindun Untuk Leluhur
Sedikit goresan bodoh di sore ini
Kala mentari sinari hijaunya Lombang
Semerbak bunga sebarkan harum kedataran leluhur
Jika puncak barat menatap sinar diufuk timur
Nampaklah negeri dan hamparan awan menutupi lembah yang terukir
Sah,jika kalian bilang jejakku tak berbekas di Lombang
Benar pula jika burung bernyanyi iringi kepergianku
Tetapi ingat wahai manusia di sana!
Tetaplah kita satu, kecuali jika sungai mengalir dari muara ke hulu
Saat sosok leluhur yang dikenal Tokeubang.
Menancapkan pohon kehidupan di tanah [Salu Tondok] katuhoang anak biung maka sahlah daerah yang bernama Pamoseang dari lisuang ada’ Talippuki di wilaya ulu salu.
Moa muita balimbunganna ada’, tuho tammate mapia takkadake Jika itupun berlaku di litak katuhoang anak biung.
Maka, wahai para generasi Lombang! Itulah pedomanmu seperti adanya dalam asaku.
Kutulis ini dengan linangan air mata Suci dari suara hati paling dalam yang telah terpatri sejak jaman leluhur kita.
Lumalong Talah Mati
Pagi itu di sudut Kota Makassar Lomalong masih asik bermain dengan mimpi-mimpinya. Masuk pagi pulang sore adalah rutinitasnya sebagai Mahasiswa baru di Kampus Hijau itu. Layaknya mahasiswa, ia sibuk dengan tugas-tugas kuliah dan sedikit kegiatan organisasi kampus.
Ketertarikannya dengan dunia menulis ia tuntaskan di Unit Kegiatan Masiswa. Ia sering disapa oleh seniornya dengan “Cowo Panggilan” lantaran hanya akan menghadiri materi jika ia dipanggil dan dijemput. Masih jelas betul, suatu hari Lumalong diganjar piagam sebagai penulis terbaik dalam suatu kegiatan di lantai dua gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM). Dan ia berganti nama jadi “Pujangga Gagal”.
Lumalong telah mati sejak saat itu,yang ada hanya Pujangga Gagal. Sibuk merayu dara miliknya juga kepunyaan orang lain. Tetapi satu dari sekian banyak wanita telah ia simpan. Jauh dalam lubuk hati.
Kembali ke masa lalunya, kisa percintaan Pujangga tak semanis kata dalam syairnya. Kemalangan selalu saja menemani perjalanannya. Ia banyak menyelam dalam lautan kepedihan, kepedihan hidup dan sedikit tentang cinta.
Malunda 2010, Pujangga memulai kisah cintanya yang rumit. Ia terjebak dalam beberapa hati anak manusia. Di suatu tempat ia bertemu seorang wanita jelita pujaan anak lelaki di desanya. Namanya Siti, wajahnya lebih terang dari cahaya pelita di desanya.
Ditempat lain ada pula orang kedua, Namanya Via. Ia menganalnya lewat sahabat karibnya. Bukan hanya itu, masih ada nama Muna yang turut hadir mamba warna dalam roman percintaan sang Pujangga.
Dimulai dari kisah Pujangga dan Siti. Mereka bertemu dalam waktu yang tidak direncanakan. Pujangga adalah Santri dengan segala kepolosannya. Jalinan kasih mereka berdua tak semasyhur Kais dan Laila. Mereka terpisah jarak dan waktu, hingga setiap pertemuannya selalu larut dalam kemesraan, dunia seakan milik mereka berdua.Tidak jauh dari rumah Pujangga, tempat mereka sering memanen rindu. Rumah Siti dekat jalan besar itu.
Dalam hitungan hari kemesraan mereka berakhir, Pujangga dipaksa pergi oleh keadaan. Ia dikirim jauh ke tanah leluhurnya untuk menyelamatkan pendidikan sekolahnya. Ia tidak naik kelas, terpaksa harus cari sekolah lain untuk menampung segala kemalasannya. Ia bukan anak baik di sekolah, bahkan sering bolos bersama teman sejawatnya.
Saat itu Siti tak mengira kekasihnya akan berlalu lama dan selamanya akan pergi. Sebelum kepergiannya, Pujangga menemui Siti di sekolahnya. Salah satu sekolah menengah atas di kota Majene kala itu.
Pujangga pamit kepada kekasihnya, tanpa ia sadari bahwa itu adalah akhir pertemuan mereka.
Pujangga menulis surat perpisahan, mencoba menenangkan hati Siti yang gundah gulana.
Wahai permataku, hapuslah air matamu itu
Aku pergi untuk kembali
Aku berlalu dengan kekuatan hati atas pengharapanmu
Sebentar saja rasa sedih itu, selanjutnya adalah tangis bahagia di pelakukanku
Aku tidak benar-benar pergi
Hanya sedikit jauh dari ragamu
Yakinlah jiwaku selalu berada di sampingmu
Menemani dan menyapamu setiap bangun dari tidurmu
Pujangga berlalu dengan cepat, ia tak tahan memandang jawah Siti yang semakin memerah. Dalam perjalanan suara Siti mengalun indah dari telpon jadul yang terselip di helm sang Pujangga. Mengantar Pujangga yang terakhir kainya.
Ternyata benar, uasai sudah kisah dua anak manusia yang dulunya bermimpi bersama menemui panggilan Tuhan. Suatu hari dalam tempat barunya, Pujangga mendapati hapenya berdering, tanpa rasa curiga ia segera menyapa Siti dengan sapaan akrabnya. Seketika hening, percakapannya tak seindah biasanya.
“Maaf sayang,” ucap Siti dengan nada rendah. Pujangga bertanya, “Maaf kenapa?” Siti tak bisa menjawab, hanya suara tangis yang diperdengarkan melalui sambungan telpon itu.
Sejak saat itu Pujangga jalani hari tanpa senyum seperti biasanya. Ia dilanda rasa sedih, hatinya perih sakit tak berdarah. Kekasinya tak memberi kejelasan, ia tak tau harus berbuat apa. Layaknya kebanyakan orang, ia menangis dalam kesendirian. Mengadu pada lembaran-lembaran kertas, menulis rasa dengan pena bertinta tetesan air yang mengalir di pipinya.
Beberapa hari belalu, telponnya kembali berdering. Rupanya Siti menelpon. Rasa tak beraturan menghampiri hati Pujangga. Segara ia menjawab telpon dari Siti.
“Halo.. “ sapa Pujangga. “Maaf, engkau jauh aku pun jauh. Aku telah gagal menjaga hati ini untukmu. Dia datang di saat aku merindukanmu, di saat hati ini butuh sandaran. Awalnya aku masih setia, tetapi lama-kelamaan ia berhasil menipuku dengan memanfaatkan kegundahan hati ini. Sayang, sampai saat ini dia berada tepat di sampingku. Aku merasa hina dan malu, tetapi lebih hina lagi jika aku tak mengatakan ini kepadamu. Sayang, lupakan aku yang tak pantas bagimu, cintamu terlalu besar bagi aku yang hina ini,” ucap Siti dengan ragu-ragu kepada Pujangga.
Mendengar ungkapan hati kekasihnya, Pujangga terdiam. Tak ada satu kata yang bisa ia ucapkan. Siti melanjutkan perkataannya tanpa ragu,“Sayang, aku tau kau akan terkejut dengan kenyataan ini. Sakit rasanya mengkhianatimu, karena kutau hatimu tak sekotor hatiku. Kamu telah banyak menebar bunga dalam perjalanan kita. Aku masih ingat kecupan pertama dan terakhir di keningku. Dan itu tulus, aku sangat merasakannya. Kini jelas dalam hubungan kita, akulah perusak segalanya. Maafkan aku sayang, aku rela kau jadikan hina di matamu. Bahkan jika bertemu dalam waktu yang tak direncanakan tak usah lagi menapatku, tempatkanlah aku dalam ruang yang paling hina dalam catatan hidupmu,” begitu Siti menghinakan dirinya kepada Pujangga.
Bersambung………..