Ketika Suara Rakyat Dibalas Semprotan Air: Desakan Cabut Izin Tambang Pasir Berujung Represi

Foto massa aksi yang melakukan unjuk rasa di jaga ketat oleh aparat kepolisian

Mamuju, 05 Mei 2025 – Langit Mamuju tak sepenuhnya cerah pagi tadi. Sekitar pukul 10.00 Wita, satu per satu mobil dan sepeda motor membawa ratusan warga dari berbagai penjuru Sulawesi Barat memadati halaman depan kantor Gubernur. Mereka datang dari Desa Karossa, Sarassa, Kalukku Barat, hingga Beru-Beru. Mereka membawa spanduk, pengeras suara, dan satu pesan: cabut izin tambang pasir.

Namun, gerbang tinggi yang menghalangi mereka telah dijaga ketat oleh aparat dari Polda Sulbar dan Polres Mamuju. Tak ada penyambutan dari pemangku kebijakan. Tak ada satu pun perwakilan pemerintah yang keluar menemui. Hanya barikade polisi dan tatapan dingin yang berdiri membentengi suara-suara dari kampung.

“Kami hanya ingin bicara. Tidak lebih. Tapi bahkan itu pun seolah mustahil,” kata Zulkarnain, orator utama aksi, dengan nada getir.

Sudah tiga jam mereka menunggu. Orasi terus bersahutan. Tapi ruang dialog tetap tertutup. Ketika kesabaran habis, ketegangan memuncak. Aksi dorong antara warga dan aparat tak terelakkan. Gerbang akhirnya terbuka, namun yang menyambut warga bukan pemimpin yang mereka pilih—melainkan barisan polisi bersenjata lengkap dan semburan air dari mobil water canon yang siap menenggelamkan mereka.

Mama Indah, perempuan paruh baya dari Karossa, tersungkur di antara barisan. Ia tak menangis. Tapi suaranya pecah.

“Negeri ini, masih milik rakyat atau sudah milik perusahaan?” ujarnya, setengah berteriak, setengah bertanya kepada siapa pun yang masih punya hati.

Akar ketegangan ini panjang. Pada 21 Maret 2024, pemerintah provinsi melalui Dinas Penanaman Modal menerbitkan Izin Usaha Pertambangan kepada PT. Alam Sumber Rezeki. Lokasi konsesinya mencakup Sungai Benggaulu, jantung hidup warga Karossa. Izin ini terbit justru di tengah gelombang penolakan warga. Bukan tanpa upaya. Sebelumnya, mereka telah mengajukan protes resmi, mengikuti Rapat Dengar Pendapat, bahkan menggalang petisi publik. Namun semuanya bagai ditelan birokrasi.

Kini, bukan hanya suara mereka yang diabaikan. Sebelas warga bahkan dilaporkan ke polisi. Ketegangan ini sempat meletus dalam insiden pembacokan beberapa pekan lalu. Rekamannya viral. Respons Gubernur Suhardi Duka hanya datang dalam bentuk video pendek—bukan pertemuan langsung. Dalam video itu, ia menegaskan bahwa aktivitas perusahaan tak boleh dihalangi.

Massa Aksi beralaskan terpal menunggu, berharap ditemui oleh Gubernur Sulbar.

Hari ini, warga tetap bertahan. Beralaskan terpal  seadanya, mereka memilih menunggu. Tapi yang mereka tunggu bukan hanya pertemuan dengan Gubernur Suhardi Duka. Mereka menunggu jawaban atas nasib kampung mereka yang tengah diancam kehancuran. Namun, hingga berita ini diturunkan, Gubernur Sulawesi Barat tidak menunjukkan tanda-tanda akan menemui mereka. (*)