Jalan Sunyi
Bagian 1
Dikutuk Mereka yang Telah Lama Pergi
Selamat pagi pembaca yang tak tersentuh hatinya oleh tangis dan rintihan Ibu. Seruput secangkir Kopi, keringat asam yang kau rampas dari Tuhan yang sama.
Pagi buta di tanah datar dekat pasar trasdisioanal. Seorang anak berumur sembilan tahun mengayuh langkah kecil menuju sekolah. Dengan harapan, sepulang dari sekolah waktu luang bermain cukuplah baginya habiskan waktu.
Dalam benak tak ada laut biru melukis langit. Tak ada alunan ombak merayu pasir putih. Dan, hanya lalu lalang pedagang Kopi dan Rotan bercakap dalam bahasa Ibu. Dalam pandangan hanya gunung dan aliran sungai yang tersembunyi dari belahan dunia luar.
Lelaki berambut ikal, masa depannya bergumam ;
Bermainlah! Sebab segerombolan orang telah bermain dengan kata dan rencana buruk.
Cukuplah hidup dalam titipan Tuhan bersama.Tiada dibenarkan mengambil kepunyaan orang lain!
Celakalah mereka yang melukai anak kecil, merampas semua kenangan masa emasnya.
Sebenarnya hidup adalah dirindukan yang telah berlalu pergi, bukan dikutuk mereka yang telah lama jauh.
Hari itu, Matahari berada tepat di atas ubun-ubun. Suasana seketika mencekam, anak seumurannya lari berhamburan. Helaian kain putih dengan tulisan warna hitam, tidak jelas membacanya. Semua mewakilkan rasa egois, tiada menyampaikan makna yang sebenarnya. Putih, tetapi penuh titik noda kehidupan.
Suara propaganda menggerutu tidak jelas.
Di suatu tempat pada tahun 2002, Marepe namanya. Telah lama seorang anak bermain mengitari hutan Bambu. Seperti seharusnya ia berjalan, sesuka hati layaknya air sungai Mambie. Tiada hari tanpa air keruh, tanda kehidupan manusia dari hulu hingga hilir masih merona.
Mambie, Sungai di belantara tanah Pongka Padang membelah daratan turunan Sasok Kaka Pamoseang [tanah adat]. Asal muasal legenda Masapi Kumirri: Ikan sidat raksasa dalam mitologi Pamoseang. Cintanya kepada Takaroti [kekasinya] telah abadi dalam syair sendu yang mengantar kepergiannya berkelana.
Pepasangngi tama di Takaroti, maknassa mahalena Masapi Kumirri di Ulunna Mandak-Mandak ;
Sampaikan pesan ini kepada kekasihku [Takaroti], sungguh aku benar-benar pergi dan hulu sungai mandak telah aku tinggalkan.
Pesan terakhir sang kekasih amatlah pilu dikenang lagi.
Dan, damailah dunia Lumalong, anak kecil yang mengira sungai terbesar adalah Mambie dan Gunung tertinggi adalah Tamurrung [nama gunung di sekitar Marepe]. Kehidupan di bantaran sungai mengajarkan ketenangan jiwa kecilnya. Layaknya air, selalu saja menuju tempat yang lebih rendah. Kalattebak [Baling-baling] jadi pengisi hari-harinya, membawanya berlari riang meniti pematang sawah. Kelak, jadi tempat memanen rindu di hari senja.
Menuliskan kisahnya sunggulah rumit. Sama saja bercermin pada kaca yang retak, rasa tak beraturan. Memanggil jiwa ingin kembali pada masa yang tak tentu asal, tetapi jelas dalam benak. Bahkan lebih nampak dari depan mata.
Lumalong, paginya selalu indah. Harinya dimulai sebelum ayam jantan menyambut fajar. Segera, ia bergegas menuju sungai kecil samping rumahnya: mengambil wudhu dan berdoa dituntun ayah dan ibunya. Sungguh kehidupan yang paripurna. Merayu Tuhan bersama keluarga amatlah khusyuk nan tenteram.
Sedikit saja ia tak pernah tau, bahwa alam sedang merayunya. Memberinya hari indah sepanjang jalan. Hingga ia tak menyadari, perlahan, rindang Bambunya akan segera hilang. Semua akan jadi cerita: hanya ada dalam catatan-catatan kisahnya. Ia benar- benar dipaksa berlalu dan pergi untuk waktu yang lama.
Terbawa arus kehidupan hingga ia jauh beranjak dari Marepe. Lumalong tak henti-hentinya bernyanyi tak menentu. Luapan kerinduan telah ia catat dalam bait-bait syairnya. Dendam kesumat, kepada mereka yang merenggut segenap miliknya dahulu. Hingga ia lupa jalan pulang, walau hanya sekedar memanen rindu di Mambie.
Arus Kehidupan
Tempat lain dari kisanhnya, Lumalong berkalana jauh dari tanah moyangnya. Suatu hari dalam perjalanannya,ia duduk di kursi tengah mobil angkutan umum. Deru angin menyapanya melewati celah kaca di sampingnya. Suara bising mobil tua, mengantarnya pergi jauh ke tengah hutan itu. Menatap langit berhias awan, tanda ia benar beranjak dari pangkuan Marepe, tanah datarnya.
Di sampingnya, lelaki parubaya bernyayi. Lalu, ia berkata dalam tanya, apa makna syair itu? “Arus kehidupan,” ucap lelaki itu kepadanya. Bolekah aku mendengarnya lebih lama? Lanjutnya dengan penuh harap.
Lelaki menjawab, “ Dengarlah nak.”
Harmoni silam di rindu nan dalam
Bersedih dalam rindu, melayang dalam lamunan hingga tersadar dan tak percaya aku telah jauh.
Bukan pula rindu yang menusuk. Tetapi harmoni, semasa bersua disana bagaikan sebilah Badik mengiris kulit.
Kucurahkan semua air mata, hingga darah pun mengalir di pelipis. Namun itu tiada arti, hati pun semakin perih hingga semua terkikis habis.
Dua belas tahun aku terbawa arus kehidupan hingga ujung timur Indonesia. Namun, selama itu kau bersemayam dalam rindu bersama hasrat ingin kembali.
Kau harmoni masa silam, kau penguat jiwa yang kelam, hingga jika aku kembali berharap leluhur menerima dengan cinta.
Kaulah pendekar dalam rantauku.
(Labuha-Halmahera Selatan-2015)
Lumalong tertidur pulas, ia berkerut dahi. Tanda tak mengerti permainan kata dari mulut lelaki parubaya itu.
===========================================================
Sejenak, Hilang Galabah Hatinya
Resapi perjalanannya, Lumalong sejenak hilang gundahnya. Merawat tidur panjang dalam deru mobil mengantarnya menghapus segala pilu kepergiannya.
Malam telah tiba, klakson nyaring khas mobil pantai membangunkan tidurnya. Ia telah jauh, benar-benar pergi untuk waktu yang lama.
Polewali 2002, ia bergegas meninggalkan tumpangannya. Tentu, lelaki penyair menuntunnya menuju rumah kerabatnya. Lumalong merasa asing, dimana biasanya Pohon Bambu rindang menjaga rumahnya kini pagar marmer dan aspal di sekelilingnya.
Cerita perjalanannya selalu saja berselimut tanya. Kepada siapa dia kan mengadu? Hanya jawaban semu yang kan dia dapat!
Dirinya telah jauh terjebak dalam jalan asing kehidupan. Dalam perjalanan itu, sesekali ia bermain dengan kawan orang asingnya. Pernah, dalam keasyikannya bersama sahabat barunya. Mereka tertawa riang dengan mainan anak kota, tetapi itu hanya sesaat. Sebab tuan rumah mengganggu dunia mereka. Dirampas, mainannya disimpan kedalam lemari bagian atas. Mereka pun tak bisa bermain lagi. “Sudah mi, nanti rusak,” kata tuan rumah, ayah teman asingnya.
Dengan raut kecewa, Lumalong berlari kekamar tumpangan Bapak dan Ibunya. Tak ingin mengadu, mungkin umurnya telah memaksa hatinya untuk merasa. Mengerti akan keberadaan mereka. Ia hanya menyapa adiknya, bermain bersama.
Hari berikutnya, Lomalong berlalu pergi menuju tempat selanjutnya. Kali ini tumpangannya lebih luas dan panjang. Namanya mobil “Pipos”, pada masa itu cukup tenar bagi mereka yang melakukan perjalanan dari Kota Polewali ke kota lainnya. Ketika melintasi bibir pantai teluk Mandar, kebingungan melandanya. Merasa heran dengan sungai yang amat panjang, sepanjang perjalanannya. Maklum, di tanah datarnya tak ditemukan sungai sepanjang dan seluas itu.
“Bapak, nama sungai ini apa?,” tanya Lumalong. Bapaknya menjawab dengan cepat “Hust…itu laut.”
Lumalong terdiam, rupanya laut yang hanya ia temukan dalam buku-buku di sekolahnya mirip sungai. Perjalanan mereka berlanjut dan ia begitu menikmatinya. Lumalong banyak tau hal baru yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.
Buang saja rasa sedih Lumalong, kini ia telah jauh pergi. Dendam kesumat itu telah ia simpan dalam memori. Telah jadi monomen yang sempurna, kelak akan memanggilnya setelah dewasa.
Jauh menjaulah wahai angin surga
Kini kau telah kusisipkan di setiap sela hati dan turut larut dalam aliran dara
Mengalir sesuka hatinya tanpa henti
Telusuri setiap sendi dalam raga
Jiwa telah menyatu dengan dendam itu
Bukan lagi, selamanya menemani hingga tangan tuhan melambai
Memanggil Matahari untuk istirahat
Adakah kenangan itu untuk kebaikan?
Dan, pernahkah ia memanggil?
Dalam setiap monumen tentulah jelas
Jelas menampakkan bentuk yang nyaris sempurna
Hanya saja kenangan tidak selamanya memanggil
Sebagian dari mereka ada yang lahir prematur
Tak jelas bentuknya
Tetapi Lumalong telah meciptakan setiap monumen dalam memorinya dengan sempurna
Sehingga, tak pernah ia ragu menemuinya
Selalu saja jadi tamu istimewa dalam galabahnya
Raganya tidak terluka
Hanya saja jiwanya benar-benar hancur berkeping
Tak pernah ia menemuinya dalam tawa riang
Selalu saja linang air di pipinya
Ketika mengunjungi munumen rindunya
Bersambung………………
Shaleh Muhammad