Pua Cammai, Lelaki dari Ulu Salu

Benteng Rotterdam (Sumber: Wikimedia Commons)

Bagian I

Sebagai pembuka, salama lino ahera Pua Cammai. Begitu  pintaku ketika memulai tulisan ini. Tidak banyak yang tau sosoknya. Hanya mereka yang peduli  perjuangan leluhur Pamoseang melawan penjajah yang akan menemukan namanya : di Kecamatan Malunda dan Ulumanda.

Lahir dari rahim Ibu berdarah Pamoseang dan Ayah Berdarah Talippuki. Ia juga menikahi seorang wanita yang tidak jauh-jauh dari halamannya. Dua kampung, sekarang dikenal dengan nama Desa Lombang Timur dan Batannato ( Desa Popenga). Adalah tempat anak cucunya, bahkan cicitnya bermukim. Tetapi saya bukan termasuk yah! Hanya saja Pua Cammai adalah Kakak laki-laki kakek buyut saya, Pua Sija.

Mendengar kisah dari turunannya, saya tertarik menggali informasi lebih dalam. Tetapi saya tidak memperoleh banyak petunjuk di beberapa tempat penyimpanan arsip para pejuang kemerdekaan. Entah salahnya apa? Dua kali dipenjara bahkan diasingkan jauh, namanya tidak tercatat dalam dokumen sejarah. Meski begitu, kisahnya abadi dalam ingatan para tetuah Ulu Salu, masyarakat pegunungan Majene.

Dalam perjalanan yang tidak direncanakan, saya bertemu kerabatnya. Ia mengaku cicitnya, Juriadi namanya. Dulu, orang tuanya bermukim di Batannato, tepat dimana Pua Cammai dimakamkan.

Saya mengambil kesimpulan, inilah informasi pertama yang akan menjadi sumber pengetahuan baru. Setidaknya semangat perjuangan Pua Cammai melawan Belanda dapat dijadikan motivasi turunannya walau yang kesekian.

Bisa dibilang, Pua Cammai dari lahir hingga wafat tidak lepas dari bayang-bayang Kolonial Belanda. Juriadi bercerita, sosok lelaki tangguh dan sakti adalah gambaran dari cerita turun-temurun tentang Pua Cammai. Kebal dan nyali yang membuatnya tidak pernah gentar melawan Belanda. Walau orang-orang disekelilingnya telah banyak menikmati jababatan dari  Balanda, sebutan orang lokal kepada penjajah.

“Pertama tertangkap di penjara di Ujung Pandang, setelah itu diasingkan ke Jawa,” ucap Juriadi sembari tersenyum kecil.

Pulang Dari Ujung Pandang

Pergolakan perlawanan di  jazirah Ulu Salu dan Bakba Binanga memaksa Pua Cammai  harus bertahan hidup dengan berpindah-pindah. Hampir semua gunung dan lembah di wilayah Pamoseang jadi tempat persembunyian. Sesekali ia membangun benteng pertahanan di puncak gunung.

Masa itu sekitar tahun 1860 Masehi. Menurut kerabatnya, Pua Cammai tertangkap oleh tentara Belanda. Kemudian  dibawah ke salah satu penjara di Ujung Pandang.

Tidak diketahui pasti berapa lama ia dipenjara, tetapi jelasnya Pua Cammai berhasil kabur dari tahanan Hindia-Belanda.

Selama satu bulan lamanya ia menyusuri bibir pantai selat Makassar. Menariknya, dalam perjalanan pulang,masih saja ia melawan dengan cara bergabung dengan kelompok pejuang masa itu.

Sesampainya di Batannato Pua Cammai dituakan oleh penduduk setempat sebagai pemimpin. Dimana Batannato adalah wilayah kesatuan adat Pamoseang yang selanjutnya disebut Pullao Urekang (gelar adat) . Sekarang Desa Popenga.

Lanjut Bagian II…..

Penulis : Shaleh Muhammad Sr.