Suraidah : Selain Rugikan Petani, Larangan Ekspor CPO Akan Berpengaruh Pada Harga Minyak Goreng

Sulbar,- Presiden Joko Widodo (Jokowi) resmi melarang ekspor minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) dan produk minyak goreng. Apakah Indonesia akan merugi mengingat CPO adalah barang andalan ekspor Indonesia?

Kebijakan larang ekspor tersebut Jokowi ungkapkan seusai memimpin rapat tentang pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat bersama jajaran menteri, utamanya yang berkaitan dengan ketersediaan minyak goreng untuk kebutuhan domestik. Larangan ini mulai akan berlaku pada Kamis, 28 April mendatang.

“Dalam rapat tersebut telah saya putuskan pemerintah melarang ekspor bahan baku minyak goreng dan minyak goreng,” kata Jokowi Jumat (22/4/2022).

Sementara itu, Katua DPRD Sulbar, Suraidah Suhardi khawatir dengan nasib petani di Sulawesi Barat. Pasalnya baru saja Harga tanda buah segar (TBS) di Provinsi Sulawesi Barat (Sulbar) naik menjadi Rp 3.041 per kilogram akan dihadapkan lagi dengan masalah larangan ekspor.

“Perusahaan akan mengurangi jumlah pembelian dari petani akibat larangan ekspor. Karena pasti buah sawit akan lama disimpan di penampungan, tentu pihak perusaan juga tidak mau rugi. Akibatnya petani akan menjerit,” ungkapnya, Senin (25/4/22).

Kebijakan itu pada ujungnya akan merugikan para petani kecil dan mendorong lonjakan harga, termasuk produk turunan seperti minyak goreng. Harapannya semoga anggota DPRD pusat perwakilan Sulbar dapat perjuangkan nasib petani sawit.

“Terutama petani sawit kecil, pemilik lahan sawit sedang dan pemilik kebun sawit yang tidak memiliki pabrik pengolahan CPO, refinery atau pabrik minyak goreng,” tutup Suraidah.

Dampak dari larangan ekspor ini tak hanya dirasakan oleh Indonesia, tapi juga seluruh dunia. Sebab Indonesia adalah produsen terbesar di dunia dengan cakupan hingga 59% produksi dunia.

Di sisi lain, permintaan CPO bisa meningkat dari wilayah Eropa. Penyebabnya adalah perang di Rusia dan Ukraina menyebabkan bahan pembuat minyak goreng seperti jagung, rape seed, dan kedelai gagal panen.

Jika ekspor ditutup, akan sangat mungkin permintaan tersebut mengarah ke Malaysia sebagai produsen terbesar nomor dua dunia. Indonesia mungkin akan kehilangan kesempatan menguasai pasar Eropa. Terlebih lagi melihat perselisihan Indonesia dan Eropa mengenai produk sawit.

Namun, di Malaysia sendiri terdapat kendala kekurangan pekerja di kebun sawit sehingga mengganggu produksi sawit di sana. Akhirnya pasokan dunia terancam tidak dapat mengimbangi permintaan dan akan mendongkrak harga CPO makin tinggi.